● Waiting for Superman - USA
Waiting for Superman adalah sebuah film dokumenter hasil karya David Guggenheim (An Inconvenient Truth) yang menyorot masalah pendidikan di Amerika Serikat. Pahlawan di film ini adalah seorang pengajar dan aktivis sosial bernama Geoffrey Canada. Pada masa mudanya, Canada percaya bahwa Superman benar-benar nyata dan ia sedih begitu tau kalau hal itu tidak ada pada kehidupan nyata. Ia akhirnya menyadari kalau Superman hanya ada di dunia fantasi. Untuk para murid yang sedang belajar dan kecewa dengan sistem edukasi sekarang, tidak ada satupun 'Superman' yang datang dan menyelamatkan keterpurukan edukasi di masyarakat. Akhirnya pada tahun 1990, Canada mendirikan sebuah sekolah bernama Harlem Children's Zone yang berhasil menaikkan jumlah lulusan SMU yang beranjak ke perguruan tinggi di daerah Harlem. Juga ada pahlawan lain disini yaitu Michele Rhee, seorang ketua konselor pendidikan khusus untuk daerah Washington D.C. yang berusaha mati-matian membangun sistem pendidikan publik agar menuju ke arah yang lebih baik. Film ini juga menelusuri empat orang siswa yang sedang berjuang mengikuti arus keras sekolah publik. Banyaknya halangan yang menghadang sistem pendidikan diceritakan dengan gamblang dalam film ini, khususnya di Amerika.
>>> Sebuah film dokumenter yang sangat penting untuk ditonton. Dari film ini kita bisa melihat betapa dipersulitnya sistem pendidikan di Amerika Serikat (well, bukan hanya di Amerika saja tentunya). Meskipun mereka negara maju, tetapi fakta yang dibeberkan dalam film ini membuktikan kalau jumlah pemegang gelar sarjana disana tidak banyak, bahkan banyak yang tidak sampai lulus SMU. Perusahaan-perusahaan besar Amerika seperti contohnya Google, harus sampai mencari ke luar negeri untuk menemukan karyawan yang memenuhi kualifikasi mereka. Sistem yang sudah ruwet sedemikian rupa tentunya sulit untuk diluruskan kembali. Film ini membuka mata saya kalau pendidikan itu memang sangat penting dan secara tidak langsung hal ini lah yang menjadi akar pegangan seseorang untuk tidak menjadi seorang kriminal. Peran guru juga sangat disorot disini, tentu saja itu bukan sebuah pekerjaan yang gampang. Guru-guru yang tidak bertanggung jawab juga tentu masih banyak tersebar dimana-mana, sangat disayangkan sekali. Bahkan anak yang sangat pintar sekalipun kesulitan untuk masuk ke sekolah 'bagus' karena terbentur dengan ketersediaan tempat sangat terbatas disana.
Irak Utara, tahun 2003. Dua minggu setelah jatuhnya Saddam Hussein, Ahmed (Yasser Talib); seorang bocah ceria berumur 12 tahun dan neneknya mendengar berita bahwa para tawanan perang masih ada yang ditemukan hidup di Selatan. Sang nenek pun bertekad menuju kesana dengan harapan dapat bertemu dengan anaknya; ayah Ahmed, yang sudah bertahun-tahun lamanya tidak pernah pulang semenjak pergi berperang. Perjalanan mereka pun dimulai, menelusuri jalanan dengan uang yang sedikit dengan berbagai rintangan yang harus mereka hadapi, sampai banyaknya orang asing yang mereka temui dalam perjalanan. Ahmed yang sejak kecil tidak pernah mengenal ayahnya mau tak mau harus menemani sang nenek yang sudah hampir putus asa mencari anaknya yang nasibnya tidak jelas.
>>> Awal film saya tertawa karena melihat tingkah Yasser Talib yang berperan sebagai Ahmed dengan sangat baik. Keceriaannya sangat terpancar pada awal film. Seiring film berjalan, perhalan keceriaan itu pun sirna. Melihat bocah bersama neneknya yang sudah tua pergi berkelana mencari sang ayah sungguh membuat hati saya sedih. Apalagi kenyataannya tidak seindah yang saya bayangkan di awal. Hampir menangis saya dibuatnya pada akhir film ini. Akting Yasser Talib sangat jempolan, emosi ceria, kecewa, sedih, terpancar jelas diwajahnya, meskipun suaranya menurut saya sedikit ‘cempreng’ dan membuat telinga agak sakit. Hehe.. Tapi secara keseluruhan, Son of Babylon adalah sebuah film yang memperlihatkan kepedihan para keluarga yang anggota keluarganya hilang entah kemana dengan nasib yang sama sekali tidak diketahui karena kekejaman Saddam Hussein. Yes, one of the best movie in Jiffest this year!
The Blue Mansion bercerita tentang kematian mendadak yang dialami oleh orang paling kaya di Singapura, Wee Bak Chuan (Patrick Teoh). Kematiannya diduga akibat serangan jantung, lalu ia terjatuh dan dahinya membentur lantai. Tidak disangka, arwah sang milyarder masih berkeliaran di rumahnya dan melihat reaksi orang-orang terdekatnya setelah ia meninggal. Tidak disangka, dua anak laki-lakinya; Wee Teck Liang (Kay Siu Lim) dan Wee Teck Ming (Adrian Pang), malah lebih memusingkan harta dan jabatan, rekan-rekannya jugaternyata tidak terlalu suka padanya, bahkan para pembantu rumahnya juga suka bergosip dibelakang. Tiba-tiba seorang detektif datang dengan membawa berita yang mengagetkan seisi rumah, ia memiliki dugaanbahwa Wee Bak Chuan kemungkinan mati dibunuh. Keluarganya pun berusaha menelusuri kasus ini, begitu juga dengan sang arwah penasaran.
>>> Melihat sinopsis diatas anda pasti berfikir kalau ini film horror. Eitss..anda tertipu! Ini film komedi. Sang hantu yang gentayangan itu juga tidak seram koq, malah membuat penonton tertawa terus. Film ini memakai bahasa inggris, tetapi yang dipakai tentu saja singlish (singapore english) yang logatnya kadang kala membuat saya mendengar dengan jelas. Akting para pemain menurut saya so-so, biasa-biasa saja. Tapi overall saya lumayan terhibur dengan film ini. The Blue Mansion bisa dibilang menjadi film Jiffest pertama (sebelum Scott Pilgrim) yang membuat otak saya sedikit mengendur setelah di awal menonton film-film festival yang 'berat'. Ceritanya sendiri bukanlah hal yang orisinil, komedi dalam film ini juga sepertinya sengaja dibuat kearahteatrikal. Tapi yaa seperti yang saya bilang tadi, paling tidak saya terhibur.
0 Response to "12th JIFFEST 2010 - SHORT REVIEWS: WAITING FOR SUPERMAN, SON OF BABYLON, THE BLUE MANSION"
Posting Komentar