Sabtu Bersama Bapak adalah sebuah novel fiksi yang ditulis oleh Adhitya Mulya. Bukunya telah sukses menjadi bacaan favorit dan terjual di mana-mana. Lantas, tak salah pula jika pada akhirnya rumah produksi dan sutradara tertarik untuk mejadikannya sebuah film berdurasi panjang yang tayang di layar perak. Sutradara yang tertarik untuk mengangkat buku ini menjadi sebuah film adalah Monty Tiwa yang sudah terbiasa terjun dengan tema-tema keluarga seperti ini.
Sehingga, Monty Tiwa sudah sangat dipercaya untuk mengadaptasi buku yang telah menjadi fenomena pembaca domestik. Di bawah naungannya, proyek ini pun mendapatkan jajaran aktor aktris yang sudah tak diragukan. Memasang nama-nama seperti Deva Mahenra, Acha Septriasa, Arifin Putra, Abimana Aryasatya, pun dipermanis dengan wajah baru seperti Sheila Dara. Dan juga, turut hadir aktris kawakan seperti Ira Wibowo yang menambah kepercayaan penonton dengan hasil akhirnya.
Dan sekali lagi, perlu diperhatikan adalah ketika sebuah buku dan film adalah sebuah medium penyampaian pesan yang jauh berbeda. Ketika berbicara soal dua medium ini, penonton seakan tak mau tahu. Sabtu Bersama Bapak mungkin mengalami perubahan secara struktur cerita dari buku ke dalam film. Namanya juga film ini adalah sebuah adaptasi, bukan duplikasi. Sehingga, adanya perbedaan yang terjadi di dalam buku dan film adalah sesuatu yang lumrah. Karena sebuah film memiliki yang namanya durasi yang mana perlu diperhatikan agar penyampaiannya pun efektif.
Banyak sekali respon yang mengatakan bahwa Sabtu Bersama Bapak tak bisa menyenangkan pembacanya ketika menjadi sebuah film utuh. Ada yang merasa bahwa, Sabtu Bersama Bapak tak bisa memiliki koneksi dari karakter kepada penontonnya. Maka, yang perlu diperhatikan adalah ketika sebuah film muncul dari adaptasi sebuah novel, jelas karakter yang ada di dalamnya mungkin mendapatkan ruang gerak yang begitu sempit. Hal itu dikorbankan, karena penonton awam akan peduli dengan jalan cerita yang telah tuntas. Tetapi, hal itu tidak masalah jika cerita tersebut dapat berjalan dengan lancar bahkan berkoneksi dengan penontonnya.
Sabtu Bersama Bapak memang hadir dengan memberikan sebuah terapi kejut akan konfliknya yang belum apa-apa sudah memiliki problematika. Mengisahkan bagaimana sang Bapak (Abimana Aryasatya) yang sudah tak memiliki umur yang panjang lantaran terkena kanker. Sang Bapak pun berinisiatif untuk memberikan petuah-petuah kepada anak-anaknya, Cakra dan Satya, lewat sebuah rekaman yang akan diputar oleh Ibu Itje (Ira Wibowo). Rekaman tersebut akan diputar setiap sabtu pagi sepulang sekolah.
Setelah beberapa puluh tahun kemudian, Cakra (Deva Mahenra) dan Satya (Arifin Putra) menemukan problematika hidupnya masing-masing. Satya yang sudah beristri dengan Rissa (Acha Septriasa) memiliki problematika rumah tangga yang selalu ada. Berbeda dengan Cakra, yang ternyata memiliki masalah dalam mencari pasangan hidup. Dengan problematika yang berbeda, tetapi mereka tetap menggunakan petuah dari sang Bapak yang mereka saksikan lewat rekaman sebagai prinsip hidup mereka.
Bukan berarti dengan memberikan konflik yang seketika sudah beruntun itu, penonton tak mendapatkan intimasi di dalam filmnya. Hanya saja, intimasi di setiap film mungkin akan berbeda. Di Sabtu Bersama Bapak, karakternya yang sangat banyak mungkin akan terbatas dengan adanya durasi yang perlu diperhatikan. Intimasi yang ditawarkan Monty Tiwa di dalam Sabtu Bersama Bapak adalah intimasi cerita yang mungkin lebih menawarkan tentang keberadaan suatu keluarga.
Meski akan terasa, sekuens setiap karakter memiliki cara yang berbeda untuk memberikan sebuah suasana di dalam cerita. Hal tersebut juga disesuaikan dengan bagaimana sifat atau watak setiap karakternya. Seharusnya, Sabtu Bersama Bapak menjadi sebuah paket komplit sebuah film yang memiliki segala jenis pendekatan genre. Kita bisa dibuat tertawa, serius, dan merasakan sebuah melankoli atas kehidupan yang terjadi di setiap karakter. Tetapi, beberapa bagian teknis di dalam film ini mungkin perlu diperhatikan.
Hingga muncul sebuah persepsi bahwa film Sabtu Bersama Bapak ini digarap dengan terburu-buru. Sehingga, hal-hal teknis tak terlalu diindahkan, padahal itu pun bisa menjadi kekuatan atas uniknya pendekatan di dalam film Sabtu Bersama Bapak yang beragam. Editing warna di dalam film ini pun terlalu kuning, mungkin untuk membangun suasana yang hangat dan ternyata berujung berlebihan. Sehingga, warna film pun terkesan pecah-pecah. Pun, penonton terasa terganggu dengan editing lens flare buatan yang diselipkan terlalu banyak.
Penonton pun merasakan sebuah distraksi dari segi teknis, bukan dalam bagaimana Monty Tiwa mengenalkan karakter-karakternya. Karena, selama plot cerita dapat membuat penonton ingin mengetahui apa yang akan terjadi, hal tersebut masih dikatakan berhasil. Sabtu Bersama Bapak beruntungnya masih memiliki semangat itu. Meskipun, distraksi skala besar muncul dari segi teknis ketika penonton berusaha untuk berkoneksi dengan emosi cerita di dalam filmnya.
Kredit terbesar di dalam film ini adalah pengarahan permainan karakter yang diperankan oleh Acha Septriasa dan Deva Mahenra. Acha Septriasa berhasil menjadi karakter pendukung yang memberikan kontrol terhadap lawan mainnya, sehingga jalinan emosi di dalam film ini tak terkesan berlebihan. Begitu pun dengan Deva Mahenra yang sedang berusaha keras untuk bermain dengan pas. Dan karakter Cakra dibawakan dengan menarik oleh Deva Mahenra.
Sehingga, jadilah Sabtu Bersama Bapak yang mungkin berusaha untuk memberikan pendekatan di setiap konflik ceritanya. Tetapi, perlu digarisbawahi adalah ketika film ini adalah sebuah adaptasi sehingga mungkin pengembangan karakternya memiliki keterbatasan karena durasi. Hanya saja, sebuah distraksi datang dari segi teknis yang mengurangi konsentrasi penontonnya. Tata editing film Sabtu Bersama Bapak memberikan sesuatu yang berlebihan. Pun, dengan tata gambar yang tak memberikan sesuatu yang mewah dengan setting yang berbeda. Sehingga, Sabtu Bersama Bapak yang seharusnya menjadi sebuah sajian paket komplit dalam genre-nya, pun terasa kurang spesial.
0 Response to "SABTU BERSAMA BAPAK (2016) REVIEW : Problematika Sebuah film Adaptasi"
Posting Komentar