BADOET (2015) REVIEW : Pembuktian Kembalinya Film Horor Indonesia


Mengembalikan kepercayaan penonton film Indonesia kepada genre horor bukanlah sesuatu yang mudah. Histori dari genre ini memang tak terlalu memiliki citra yang bagus, karena sineas Indonesia terlalu bermain eksperimental dengan terlalu sering mengumbar sensualitas di dalam filmnya. Penonton pun mulai memicingkan mata untuk mencicipi film horor Indonesia yang dirilis di bioskop. Tak semua sineas Indonesia menggunakan formula itu, akan tetapi mereka tetap terkena dampak yang sama dari penonton Indonesia.

Mulai dibangkitkan lagi dan dibersihkan kembali citra film horor Indonesia yang sudah mulai buruk. Beberapa sutradara Indonesia mencoba menggarap sebuah film horor yang reputasinya jauh dari kesan sensualitas. Salah satunya adalah Awi Suryadi yang berusaha membuat film horor terbaru di tahun ini. Badoet, film horor yang dia buat, mulai gencar dibicarakan dan mendapat sorotan dari beberapa cuplikan foto yang terlihat menjanjikan.

Kehausan penikmat film Indonesia terlebih untuk film horor memang sudah berada di titik puncak. Beberapa kali film horor Indonesia mencoba untuk berbeda tetapi belum bisa ada yang berhasil. Badoet memang belum bisa mencapai tingkatan sempurna dalam satu presentasi film horor Indonesia. Tetapi, i’tikad baik dari Awi Suryadi untuk memberikan satu teror yang kuat berhasil dia sampaikan lewat film Badoet miliknya. 


Badoet ber-setting di lingkungan rumah susun yang padat penduduk. Lingkungan di rumah susun itu terkenal aman dan nyaman. Hingga suatu ketika seorang anak kecil menemukan sebuah kotak musik di daerah pasar malam dekat rumah susun itu. Satu persatu anak kecil di sana meninggal dengan cara yang mengenaskan dan tak terduga. Kejadian ini mengusik Donald (Daniel Topan), mahasiswa semester akhir yang juga mengenali anak-anak di lingkungan rumah susun itu.

Donald tinggal dengan Farel (Christoffer Nelwan) yang juga masih saudara sepupu dengannya. Kejadian yang janggal ini secara tak langsung juga mengusik kehidupan mereka. Bersama dengan Kayla (Aurelie Moeremans), mereka mencoba mencari tahu apa yang terjadi dengan sebuah kotak musik di sana. Dan menemui ketiga anak kecil tersebut menggambar sosok Badut dengan wajah yang sama sebelum mereka meninggal satu persatu. 


Lewat film Badoet, Awi Suryadi berusaha untuk membangun lagi reputasi dari film horor yang sudah jatuh di perfilman Indonesia. Film yang diarahkan olehnya memang tak memiliki cerita dengan terobosan paling mutakhir. Tetap menggunakan formula usang yang selalu ada di setiap film-film horor. Sekumpulan anak muda yang tak tahu apa-apa tetapi ikut terperangkap dan mencari tahu apa yang sedang terjadi, formula itu akan selalu ada dan muncul di setiap film horor, baik lokal maupun luar.

Tetapi, Awi Suryadi pintar dalam mengolah dan membangun setiap tensi yang ada di dalam film Badoet. Selama 90 menit, Awi Suryadi berhasil meneror penontonnya dan mengusik ketenangan penontonnya lewat film Badoet. Film ini memang tak mengumbar penampakan dari makhluk suprantural dan momen yang mengagetkan meski tetap ada satu atau dua adegan. Tetapi, Badoet tampil lewat suasana horor yang mencekam dan hal ini sangat efektif untuk memberikan dampak yang lebih kuat kepada penontonnya.

Meski tetap, film ini masih tak bisa jauh dari kekurangan-kekurangan dalam pengembangan plot dan dialog yang tampil masih seadanya meskipun tak dalam taraf yang berlebihan. Karakter-karakter yang ada di sini masih tak memiliki alasan yang cukup kuat untuk hadir dan menyokong plotnya. Hanya saja, Awi Suryadi berusaha keras agar karakter-karakter yang ada di dalam filmnya bisa memberikan performa yang pas agar kekurangan dalam pengembangan cerita plot Badoet yang tak tampil kuat bisa tertutupi. 


Pun, tanpa terlalu fokus pada plot, Awi Suryadi mengalihkan kekuatannya pada penekanan atmosfir mencekam yang ada di dalamnya. Badoet sangat efektif memberikan mimpi buruk yang membekas cukup lama di dalam ingatan penontonnya. Meski tanpa penampakan yang berarti, Awi Suryadi berhasil menciptakan kengerian sendiri di dalam pikiran penontonnya. Sehingga, hal tersebut efektif untuk menciutkan nyali dan sesekali membuat penonton menutupi matanya saat menonton film ini.

Awi Suryadi berhasil mengangkat sebuah isu mimpi buruk dan fobia akan sosok badut yang dialami beberapa orang. Membangun sebuah alasan dari mimpi buruk seseorang yang takut akan sosok badut yang seharusnya memiliki tujuan untuk membuat tertawa bagi semua orang, bahkan anak kecil. Film ini layaknya sebuah antitesis yang dilayangkan kepada penontonnya untuk mematahkan kesepakatan penonton dalam menginterpretasi sosok badut.

Beberapa teknik pengambilan gambar yang dihadirkan di dalam film Badoet pun berhasil memperkuat atmosfir horornya yang mencekam. Sehingga, meski tetap menggunakan teknik pengambilan yang seperti umumnya film horor tetapi Awi Suryadi berhasil mengelabui penontonnya yang berusaha untuk menebak keberadaan sang makhluk suprantural itu. Dengan tata produksi jempolan, jelas Badoet bukanlah film horor yang dibuat asal-asalan. 


Meski tetap memiliki kekurangan di beberapa bagian, setidaknya Awi Suryadi masih memiliki i’tikad yang baik untuk membuat filmnya tak menjadi sebuah film horor yang murahan. Badoet memiliki kekuatan untuk mengusik ketenangan dan menganggu psikis penontonnya lewat atmosfir seram yang dihadirkan sangat kuat dan efektif di dalam 90 menit filmnya. Dengan alasan-alasan antitesis dan meng-inseminasi pemikiran lain tentang sosok badut, jelas Badoet bukan sembarang film horor. Awi Suryadi berhasil mengembalikan reputasi film horor dan menjadi salah satu film horor terbaik dalam beberapa dekade terakhir.

0 Response to "BADOET (2015) REVIEW : Pembuktian Kembalinya Film Horor Indonesia"

Posting Komentar