LUCY (2014) REVIEW : SHE’S (NOT) REALLY HIT THE 100 % CAPACITY


Mungkin jarang yang tahu siapa itu Luc Besson, bukan? Bagaimana jika disebutkan beberapa film seperti Transporter, 3 Days To Kill, dan Taken? Ya, nama Luc Besson memang sudah tidak asing lagi di film-film aksi spionase. Pria asal perancis ini mungkin lebih banyak mengambil andil dalam menuliskan setiap adegan lewat naskah. Pun dia juga pernah mengarahkan filmnya sendiri dan pernah menyapa penontonnya di tahun lalu lewat Malavita atau The Family.
 
Kali ini, sineas perancis ini kembali menyapa penontonnya. Dengan didistribusikan oleh Universal Pictures, Luc Besson mengajak aktris cantik Scarlett Johansson di film terbarunya. Terlalu lama berkutat dengan film spionase, Luc Besson menjajal genre baru yaitu Science Fiction. Sineas asal perancis, Luc Besson mendapat kesempatan untuk mengarahkan dan menulis sendiri film terbarunya dengan judul Lucy. 


Apa yang ditawarkan oleh Lucy sebagai film science fiction? Dimulai saat Lucy (Scarlett Johansson) diberi perintah oleh sang cinta satu malamnya untuk mengantarkan koper kepada Mr. Jang (Choi-Min Sik). Pada awalnya, Lucy tidak mau hingga akhirnya Lucy terpaksa mengantarkannya ke MR. Jang karena tangan Lucy terkunci dengan koper yang harus diantar. Lucy pun berusaha menemui Mr. Jang agar bisa melepaskan diri dari koper tersebut.

Na’as, bertemunya Lucy dengan Mr. Jang malah merubah kehidupan Lucy. Mr. Jang adalah gangster yang melakukan transaksi narkoba versi terbaru, CPH4 yang harus dikirim ke berbagai belahan dunia. Lucy dijadikan seorang kurir yang mengantarkan paket CPH4 di dalam perutnya. Suatu ketika, paket berisi CPH4 di dalam perutnya ini bocor dan meracuni organ tubuhnya. Tak disangka, CPH4 mengubah Lucy sehingga bisa menggunakan kemampuan otaknya hingga 100 persen. 


Risky way to talk about human.

Setelah lama terus berkutat pada proyek-proyek film spionase, Luc Besson menjajal genre Science Fiction yang bisa menjadi bumerang bagi dirinya. Lucy memang memiliki tidak menawarkan hal baru untuk film ini. Sebuah obat sintetis buatan baru yang merubah kegunaan organ tubuh manusia yang sudah pernah digunakan di film Limitless. Tetapi, sesuatu berbeda digunakan oleh Luc Besson dalam presentasi di film Lucy kali ini.

Apa yang berbeda? Ya, penggunaan narasi untuk memaparkan setiap adegan film Lucy inilah yang berbeda. Mungkin, Luc Besson menginginkan sesuatu eksperimental namun tetap mempertahankan gaya khas Luc Besson dalam film-film spionase-nya seperti biasa. Ditilik dari bagaimana Lucy ini memaparkan proses evolusi manusia bisa dibilang mencomot atau berkiblat pada film milik Stanley Kubrick's 2001 : A Space Odyssey (dan memang Luc Besson terinspirasi dari film tersebut) bertemu dengan Terrence Malick's The Tree of Life.

Menawarkan beberapa lambang atau pun simbol metaforik yang menuntun penonton ke dalam 89 menit tentang Lucy dan perubahannya. Visual layaknya sel-sel, proses terbentuknya bumi, zaman pra-histori yang bisa dibilang berada di luar konteks film Lucy sendiri menemani penonton untuk menangkap sendiri makna dari narasi Luc Besson yang tidak seperti biasanya. Sangat mengejutkan terlebih film Lucy ini sendiri masih dipromosikan sebagai film science fiction mainstream untuk menarik penonton. 


Lucy bisa dibilang adalah sebuah film yang eksperimental bagi Luc Besson. Mungkin di film ini, sineas asal perancis ini berusaha untuk keluar dari zona nyamannya untuk menyajikan sebuah film science fiction yang juga masih penuh dengan signature ala dirinya tetapi dengan penuturan metaforik yang merupakan hal yang baru baginya which is good but there’s something bad happened too in this movie. Ya, sesuatu yang cukup riskan untuk memaparkan narasi film Lucy dengan cara yang berbeda ini karena akan membuat penontonnya terbelah ke dalam dua kubu yang berbeda. Di mana akan ada penonton yang menyukainya dan ada penonton yang akan sangat membenci film Lucy.

Tetapi Lucy bukan berarti suatu film metaforik masterpiece dengan unsur fiksi ilmiah layaknya 2001 : A Space Odyssey. Lucy masih memiliki banyak keterbatasan yang harusnya bisa diolah ulang agar lebih baik. Film ini terkesan ambisius untuk memaparkan narasinya yang absurd itu dengan fast pace non-stop action yang menarik penonton awam. Akhirnya, film ini seperti memiliki dua babak yang berdiri sendiri dan mencoba untuk dipersatukan tetapi masih ada dinding yang membatasi hal tersebut. 


Untuk sebuah film science fiction pun, konsentrasi Luc Besson masih tidak bisa terfokus dan meninggalkan signature-nya. Akhirnya, Lucy pun not stay on the science fiction track tetapi menjadi film aksi non-stop di segmen kedua filmnya. Kesan ambisiusnya untuk mencoba keluar dari zona nyamannya pun terlalu berlebihan. Ya ada baiknya untuk Luc Besson, akhirnya dia berkonsentrasi di bagian cerita agar berjalan seimbang. Tetapi, hal tersebut malah membuat Luc Besson tersesat dan tidak tahu bagaimana caranya untuk membawa cerita menarik ini berakhir. 


Ending film bisa dibilang hampa dan tidak memiliki pengertian yang cukup jelas. Sepertinya Luc Besson memang sengaja untuk memberikan sebuah ending yang hampa tersebut tanpa penjelasan yang cukup agar penonton bisa berinterpretasi sendiri dengan adegan tersebut. Beberapa akan menyebut ending tersebut menggelikan meskipun 10 menit akhir adalah sebuah perjalanan evolusi yang cukup memiliki arti lambang yang cukup dalam. 


Seperti halnya karakter Lucy di film ini yang tak sengaja menjadi kelinci percobaan dari obat sintetis CPH4, film arahan Luc Besson ini pun bernasib sama. Ini sesuatu eksperimental karya Luc Besson yang mencoba keluar dari zona nyamannya. Menarik jika disimak ketika filosofi penggunaan otak manusia hingga proses evolusi yang ditampilkan secara metaforik dan di-blend dengan non-stop fast paced action ala Luc Besson. Meskipun terlalu over the top dan penanganan yang masih mediocre, Lucy belum bisa menjadi masterpiece tetapi ini adalah sebuah film science fiction yang sayang untuk dilewatkan. 

0 Response to "LUCY (2014) REVIEW : SHE’S (NOT) REALLY HIT THE 100 % CAPACITY"

Posting Komentar