THE FAULT IN OUR STARS (2014) REVIEW : A BITTERSWEET LOVE STORY

 

Lagi, lagi, dan akan masih terus mewarnai perfilman Hollywood, adaptasi dari buku-buku bestseller di US. Kali ini, bukanlah buku tema dystopian atau fantasy yang diangkat dalam fitur film panjang. Buku yang booming dan mendapatkan pujian di mana-mana, The Fault In Our Stars karangan John Green. Buku dengan tema cinta remaja ini akhirnya mendapatkan kesempatan untuk diadaptasi menjadi gambar bergerak yang hak ciptanya kali ini dimiliki oleh 20th Century Fox.

The Fault In Our Stars kali ini ditangani oleh sutradara Josh Boone yang masih memiliki satu karya, Stuck In Love yang juga bertemakan cinta dalam track record perjalanannya. Tetapi, di departemen penulisan naskah ini adalah orang yang berkompeten untuk me-reka ulang buku karangan John Green. Scott Neustadter dan Michael H. Weber adalah dalang di balik indahnya film-film romantis (500) Days Of Summer dan juga The Spectacular Now


The Fault In Our Stars memang tak jauh-jauh dari kesan cliche ala teenage summer love movies. Mencintai, dicintai, dan ditinggalkan pasti masih menjadi premis utama. Well, premis seperti itu sepertinya masih bisa menjadi jurus andalan untuk film-film sejenis. Tetapi, sekali lagi bagaimana mengemas cerita cinta tersebut menjadi sajian yang tidak terlalu mellow dan masih terasa segar adalah tantangan bagi pembuat film drama romance


The Fault In Our Stars ini menceritakan seorang remaja bernama Hazel Grace (Shailene Woodley), 19 tahun,  yang menderita kanker stadium empat di paru-parunya. Hazel menginginkan kehidupannya berjalan normal-normal saja layaknya remaja seumurannya. Tetapi, dia terjebak di sebuah support grup kanker yang membosankan. Tetapi, suatu saat dia tak sengaja bertemu dengan Augustus Waters (Ansel Elgort) di grup tersebut. Augustus Waters adalah penderita Osteosarcoma yang telah mengamputasi kakinya untuk bertahan hidup. 

Pertemuannya bersama Augustus ternyata mengubah kehidupan Hazel secara signifikan. Hazel selalu ceria, saling berbagi dengan Gus, panggilannya hingga akhirnya Gus jatuh cinta pada Hazel. Perjalanan Hazel dan Gus semakin berwarna ketika Gus mengajak Hazel untuk pergi ke Amsterdam, Belanda untuk menemui Peter Van Houten, penulis dari buku kesayangan Hazel yang berjudul An Imperial Affliction. 


Sweet story in a bitterness life

Romance, bisa dibilang memiliki penonton dengan selera yang segmented. Ada yang menyukai dengan kemasan yang mellow dan over dramatic, ada juga yang menyukai dengan kemasan yang sedikit ‘dewasa’ dan balutan dialog cerdas yang quote-able. Tentu saja, premis cerita yang digunakan oleh film-film seperti ini pun juga akan memiliki ritme yang sama antara film satu dengan film yang lainnya. Tetapi, ini adalah tantangan bagi para pembuat film romance untuk mengemasnya menjadi sajian yang segar dan menarik.

Ditilik dari sinopsis, The Fault In Our Stars memang memiliki premis yang klise. Penonton akan tahu film ini akan berakhir seperti apa. Tetapi, apa yang ditawarkan oleh film ini bukanlah premis cerita yang baru tetapi Josh Boone mengolahnya menjadi sesuatu yang baru. The Fault In Our Stars akan penuh dengan dialog-dialognya yang cerdas. Dialog-dialog sederhana tetapi akan menohok bagi penontonnya dan bisa dikutip sebagai referensi.

Kedua karakter film ini adalah karakter yang serba kekurangan. Dan dalam tipe film seperti ini, kebanyakan akan menjadi terlalu menyorot kekurangan mereka dalam sajian yang sedih dan mendramatisir. Tetapi tidak untuk film The Fault In Our Stars, kedua karakter ini memiliki sifat yang begitu sinis. Jadi, film ini akan diwarnai dengan dialog-dialog sarkasme tentang kehidupan serta tentang para penderita kanker yang hidupnya akan menyedihkan. Scott Neustedter dan Michael H. Weber berhasil mengolah lagi setiap kata dari buku milik John Green. 


Dan dikolaborasikan pintar bersama Josh Boone, berhasil menjadikan setiap kata-katanya akan menjadi sebuah perkataan yang sangat meaningful bagi penontonnya. Refleksi karakter Gus dan Hazel dan dialog-dialog sarkastik-nya itu akan membuat penontonnya akan mengetahui bahwa dengan kekurangan yang mereka miliki pun, tak menghalangi mereka untuk tetap ceria dengan hidupnya. Tentu, penonton akan dengan senang mengikuti 120 menit kisah cinta antara mereka berdua yang sebenarnya jauh dari kata sempurna itu.

Josh Boone pun berhasil mengemas cerita cinta ini dengan gaya yang komunikatif. Memberikan penjelasan cerita dengan narasi yang menyenangkan dari sudut pandang Hazel yang memiliki cerita tersebut.  Dan sisi ironi itu sudah muncul sejak adegan opening yang menampilkan narasi cerita yang juga akan membuat penontonnya merasakan pahitnya cerita cinta di film ini. Juga visual yang komunikatif ketika pembicaraan hanya via text. Josh Boone pun pintar dalam membangun suasana yang menyenangkan dan romantis yang bisa membuat penontonnya akan tersenyum saat menontonnya. Tak hanya tersenyum, tetapi perasaan sedih dan miris itu pun juga terbangun bagus di film ini. 


Memvisualkan setiap adegan romantis dengan gaya yang tak berlebihan. Mengemasnya sangat manis dengan production value yang juga tidak main-main untuk ukuran film genre ini. Di-shoot dengan menarik oleh tata sinematografi-nya sehingga menguatkan sisi romantis yang sudah terjalin baik. Karena awalnya, suasana romantis itu sudah terbangun baik lantaran chemistry Hazel dan Gus yang diperankan oleh Shailene Woodley dan juga Ansel Elgort. Mereka bermain bagus sehingga mereka pantas untuk mendapatkan gelar Couple of the year.


Sisi manis tak hanya datang dari cerita, arahan yang menarik dari Josh Boone, dan juga chemistry yang terjalin baik dari pemainnya. Tetapi, untuk jajaran soundtrack pun berhasil menguatkan sisi manis untuk film ini. Lagu ‘Simple As This’ milik Jake Bugg mengiringi adegan kegelisahan Hazel menunggu Gus, ‘Boom Clap’ milik Charli XCX yang juga mengiringi perjalanan mereka berdua ke Amsterdam. Dan ‘Not About Angels’ milik Birdy, ‘Wait’ milik M83  yang juga memperkuat adegan sedih film ini. Dan sebagai pamungkas, ‘All of The Stars’ milik Ed Sheeran juga muncul untuk menutup kisah cinta manis ini. 


Overall, The Fault In Our Stars adalah cerita cinta yang manis di atas sebuah pahitnya kekurangan antara pasangan Hazel Grace dan Augustus Waters. Adaptasi naskah yang bagus oleh duo ahli film romantis, Scott Neustadter dan Michael H. Weber serta kolaborasi yang bagus dengan Josh Boone mengantarkan The Fault In Our Stars bukan hanya sekedar film remaja romantis yang manis sekaligus pahit dan sedih. This a bittersweet love story
 

0 Response to "THE FAULT IN OUR STARS (2014) REVIEW : A BITTERSWEET LOVE STORY"

Posting Komentar