"Film kedua dari Trilogi Merah Putih"
Trilogi Merah Putih adalah sebuah proyek film yang bisa dikatakan ambisius. Bukan hanya dalam hal biaya, segala hal sepertinya diperhitungkan dengan baik, mulai dari deretan pemain, sutradara, sampai kru-kru yang melibatkan beberapa sineas luar negeri yang sudah pernah menangani film Hollywood. Nama Yadi Sugandi yang duduk di bangku sutradara sudah terkenal di kalangan perfilman sebagai salah satu sinematografer kebanggaan Indonesia. Ia sudah pernah menangani beberapa film dalam negeri yang berkualitas seperti sebut saja Kuldesak (1999), Petualangan Sherina (2000), Pasir Berbisik (2001), Eliana, Eliana (2002), 3 Hari untuk Selamanya (2007), The Photograph (2007), Lost in Love (2008), Laskar Pelangi (2008), dan Minggu Pagi di Victoria Park (2010). Pada tahun 2009, debut pertamanya sebagai sutradara dalam Merah Putih mendapat sambutan yang sangat baik meski filmnya sendiri belum bisa dikatakan sempurna. Namun, saya termasuk menyukai film tersebut. Kali ini film kedua Trilogi tentang perang kemerdekaan Republik Indonesia tersebut dibantu lagi dengan hadirnya sutradara tambahan, Conor Allyn.
Masih merupakan kelanjutan dari film pertamanya, Merah Putih, film ini berlatar belakang masa Indonesia di tahun 1947 dan bercerita tentang nasib keempat tentara gerilya yang berhasil selamat saat berusaha menyerang tentara Belanda. Mereka adalah Amir (Lukman Sardi), Tomas (Donny Alamsyah), Marius (Darius Sinathrya), dan Dayan (T. Rifnu Wikana). Mereka nekat menyerang markas Belanda untuk menyelamatkan ketiga wanita yang mereka cintai, Lastri (Atiqah Hasiholan), Senja (Rahayu Saraswati), dan Melati (Astri Nurdin). Tidak tahan dengan perlakuan Belanda yang seenaknya, perjalanan tentu tidak terhenti sampai disitu saja, mereka memutuskan untuk bergabung dengan para tentara Jendral Sudirman dan pada akhirnya diberikan sebuah tugas rahasia guna melawan Jendral Van Mook (Rudy Wowor) yang keji. Banyak halangan yang mereka temui selama perjalanan, bukan hanya dari tentara Belanda namun juga dari para tentara lokal yang tidak terlalu berpihak kepada mereka.
Darah Garuda dimulai dengan tempo cerita yang lambat dan sedikit membosankan menurut saya. Sampai ke pertengahan film saya merasa tidak ada greget pada saat menonton film ini. Bahasa yang dipergunakan juga sangat baku sehingga skrip dan jalan cerita yang baik sangat diperlukan agar penonton tidak dibuat jenuh. Beruntung mulai dari pertengahan sampai akhir, film ini mampu membangun suasana tegang dan penuh aksi. Special effects yang digunakan juga terlihat lebih halus dibandingkan dengan Merah Putih yang notabene sudah bagus sekali untuk ukuran film Indonesia. Akting para pemain terlihat biasa-biasa saja, ada pula pemain-pemain baru yang kali ini turut membantu film ini seperti Ario Bayu, Alex Komang, dan bintang cilik pendatang baru, Aldy Zulfikar. Diantara semuanya, T. Rifnu Wikana menurut saya menunjukkan performa akting yang paling baik. Ada satu adegan yang merupakan favorit saya, yaitu pada saat ia ditahan dan diinterograsi oleh Belanda. Mimik wajah dan emosi yang dipancarkan sungguh meyakinkan. Tidak ada peningkatan signifikan dari film kedua Trilogi Merah Putih ini, segi cerita masih perlu dibenahi. Saya berharap film ketiganya nanti, Hati Merdeka, akan lebih baik. Namun secara keseluruhan, Darah Garuda merupakan sebuah tontonan yang amat sangat jauh lebih baik dari film-film lokal 'asal jadi' yang sering ada di bioskop kita.
0 Response to "REVIEW: DARAH GARUDA"
Posting Komentar