Kebrutalan dalam film Martial Arts adalah sebuah indikator baru dari kualitas sebuah film milik perfilman nasional. Di poin inilah, ada sebuah titik balik yang muncul di dalam perfilman nasional. Diawali oleh film The Raid yang disutradarai oleh Gareth Evans, film ini menjadi sorotan banyak orang dan juga perfilman Internasional. Kedigdayaannya diakui oleh banyak pihak membuat perfilman nasional setidaknya mendapat citra baru baik domestik maupun mancanegara.
Dengan adanya poin itu, keragaman genre di perfilman nasional pun semakin bertambah. Film-film Indonesia berusaha mengekor keberhasilan The Raid dan film-film sadis menjadi sorotan banyak orang. Sebelum The Raid menjadi tersohor, ada The Mo Brothers yang terdiri dari Timo dan Kimo yang pernah membuat genre horor thriller yang tak kalah seru yaitu Rumah Dara. The Mo Brothers pun memiliki banyak penggemar karena setidaknya pada waktu itu berhasil membuat alternatif tontonan, apalagi dalam genre horor yang pada kala itu minim akan pembaruan.
Karya The Mo Brothers pun ditunggu-tunggu oleh penggemarnya dan setelah film keduanya, Killers, The Mo Brothers membuat sebuah proyek baru berjudul Headshot yang dirilis desember tahun ini. Penggemar The Mo Brothers menunggu proyek ini, apalagi film ini dibintangi oleh nama-nama seperti Iko Uwais, Chelsea Islan, Julie Estelle, dan masih banyak nama-nama besar lainnya. Yang terasa berbeda dari film Headshot adalah bahwa film ini dinaungi oleh rumah produksi Screenplay Infinite Films yang sebelumnya memiliki produksi film yang berlawanan genre dengan film ini.
Penonton mungkin akan was-was dengan siapa yang menaungi Headshot ini, karena rekam jejak rumah produksinya yang sebelumnya hanya memproduksi film-film genre drama romantis. Tetapi, The Mo Brothers bisa berhasil melawan segala keminiman naskah yang menjadi sesuatu yang ditakutkan oleh penggemar atau penonton filmnya. Headshot dikemas unik, menggabungkan dua genre yang berlawanan, tetapi menjadi suatu harmoni.
Naskah dari Headshot mungkin terlihat lemah, apalagi Headshot mempunyai dua genre yang saling bersebrangan. Maka, yang bekerja dengan efektif adalah pengarahan dari duo sutradara yang melebur menjadi satu nama. The Mo Brothers berhasil menjadikan Headshot sebuah Romance-Action yang terasa sangat pas. Dengan durasi yang mencapai 117 menit, Headshot semakin lama akan semakin mencengkram penontonnya. Sehingga, tanpa sadar, penonton telah menghabiskan waktu yang cukup lama untuk mencari tahu siapa itu Ishmael, karakter di dalam film ini.
Diceritakan bahwa Ishmael (Iko Uwais) adalah orang asing yang ditemukan di tengah lautan lepas di sebuah kota kecil. Ailin (Chelsea Islan) merawatnya di sebuah rumah sakit kecil dengan peralatan medis seadanya. Ishmael mengalami koma dengan waktu yang cukup lama dan Ailin selalu berharap agar Ishmael bisa bangun kembali. Hingga suatu ketika, Ishmael terbangun dan ingatannya benar-benar hilang, bahkan tentang siapa dia sesungguhnya.
Ailin berusaha untuk membuat Ishmael ingat akan siapa dirinya dengan membawanya ke tempat pertama kali dia temukan, tetapi hal itu tak membuahkan hasil. Sebelum akhirnya berhasil membuat ingatan Ishmael kembali, Ailin harus pindah tugas ke Jakarta. Di sana, Ailin akan berusaha mencari peralatan medis yang lebih baik agar bisa mengembalikan ingatan Ishmael. Tetapi, saat perjalanan menuju Jakarta, Bis yang ditumpanginya diserang oleh para pembunuh yang ingin menculik Ailin. Ternyata, pembunuh itu adalah salah satu bagian dari masa lalu Ishmael yang dia tidak ingat.
Bila dalam Rumah Dara, The Mo Brothers berusaha untuk menampilkan sebuah sajian film thriller atau slasher yang menonjolkan kemasan secara visual. Di dalam Killers, The Mo Brothers berusaha untuk bercerita segala kompleksitas plotnya. Maka, di dalam film Headshot berusaha untuk menggabungkan kemampuan The Mo Brothers di dua film sebelumnya. The Mo Brothers bisa membangun dunia yang sengaja dibuat berbeda dengan realita yang ada. Dunia penuh kekacauan di dalam Headshot berhasil diceritakan dan berdampak pada keterikatan antara karakter dengan penontonnya.
Muncul sebuah relevansi yang timbul antara karakter fiktif milik The Mo Brothers dengan penontonnya. Dengan setting dunia yang dibuat jauh dari realita penontonnya, yang terjadi adalah apa yang ada di dalam film Headshot lantas dibuat begitu meyakinkan. Apa yang membuat film ini sengaja dibuat jauh dari realita adalah bagaimana warna di dalam film ini. Dibuat memiliki kekacauan lewat warna yang cenderung memiliki palette yang kuning lebih gelap. Waran inilah yang digunakan sebagai penanda atas tujuan dari The Mo Brothers agar tak terjadi pembiasan realita yang ada.
Perpaduan naskah yang bersebrangan mungkin terlihat lemah, penuh akan plot klise tetapi Headshot punya cara untuk mengemas hal itu menjadi tambang emas. Menjadikan drama romantis itu memiliki alternatif cara untuk dikemas dan dinikmati. Menggabungkannya dengan banyak koreografi aksi yang bisa memberikan tensi kepada penontonnya. Dalam aspek naratif, Headshot masih memiliki aspek-aspek yang dapat dikategorikan sebagai film aksi meski dengan tambahan bumbu romantisasi antar karakter. Masih ada villain, hero, dan princess yang menjadi aspek utama yang menandakan bahwa Headshot dapat dikategorikan ke dalam film-film aksi.
Poin-poin itu mungkin tak ada bedanya bahkan cenderung terasa klise dengan film-film yang ada di dalam genre-nya. Struktur atau pola yang repetitif di dalam film yang berada di satu lingkup genre bisa jadi tak bisa menyenangkan penontonnya. Tetapi, lagi-lagi kembali ke bagaimana The Mo Brothers mengemas Headshot ini. Keberhasilan sang sutradara untuk mengarahkannya sebagai sebuah film aksi yang tak sembarangan. Ada kesegaran di dalam filmnya sehingga penonton dapat mengikuti pencarian identitas Ishmael yang penuh rintangan.
Headshot mengangkat studi karakter Ishmael yang juga memiliki relevansi dengan isu sosial masyarakat tentang identitas. Banyak faktor yang dapat membentuk jati diri seseorang dan menganggap bahwa faktor itu yang dapat mewakili dirinya sebagai identitas mereka masing-masing. Identitas tak memiliki sifat statis, begitu pula yang berusaha disampaikan oleh The Mo Brothers lewat karakter Ishmael. Dengan keadaannya yang bisa jadi berubah ‘putih’ kembali, menimbulkan alegori tentang bagaimana karakter diri dibentuk dan siapa yang berpengaruh untuk membentuk karakter itu.
Headshot bukanlah sebuah film yang menawarkan aspek cerita yang baru bila disandingkan dengan film-film belahan dunia lain, terutama Hollywood. Tetapi di dalam perfilman nasional yang masih memiliki pakem dan cerita ‘seksi’nya sendiri, Headshot bisa dibilang punya sesuatu yang segar dengan menggabungkan dua genre yang berbeda. Pun, hal itu tak bisa dijauhkan dari keberhasilan Timo dan Kimo dalam mengarahkan naskahnya yang mungkin dianggap cukup lemah. The Mo Brothers bisa membuat Headshot sebagai ladang emas lewat bagaimana cara dia bertutur dan membangun dunianya yang berhasil meyakinkan penontonnya. Dengan begitu, penonton dapat mengikuti perjalanan Ishmael yang sedang mencari identitas diri dari awal hingga akhir film.
0 Response to "HEADSHOT (2016) REVIEW : Kolaborasi Dua Genre Yang Memikat"
Posting Komentar