TALAK 3 (2015) REVIEW : Medium Syiar Agama Yang Universal


Sebuah pernikahan adalah salah satu dari bagian upacara adat dan agama yang dianggap sangat sakral. Janji sehidup semati dengan satu orang dan hidup dalam satu atap jelas akan ditetapkan aturan-aturan saklek entah dari agama maupun pemerintah. Apalagi, ketika keputusan seorang pasangan untuk tak lagi bersama jelas akan diberikan sebuah konsekuensi rumit yang harus dia jalani. Dan dari fenomena itulah, Hanung Bramantyo dan Ismail Basbeth membangun sebuah cerita untuk film terbaru garapan mereka.
 
Talak 3 memberikan petuah atau nasihat tentang sebuah perceraian atas ajaran sebuah agama yang berdiri tegak dan tak bisa diubah. Itu pun dikemas tak terlalu serius tetapi bukan berarti menggampangkan ajaran-ajaran agama yang saklek tentang sebuah pernikahan. Dibintangi oleh Laudya Cynthia Bella, Vino. G. Bastian, dan Reza Rahadian, film ini tak hanya siap untuk berusaha menghibur penontonnya tetapi juga meraih kuantitas dalam jumlah penontonnya.

Di bawah naungan MD Entertainment, sedikit menghawatirkan kemasan Talak 3 akan menjadi salah satu sekian banyak drama religi melankolis yang terlalu diekspos berlebih. Nyatanya, Talak 3 menjadi salah satu yang berbeda dari film-film produk MD Entertainment. Menjadikan Talak 3 sebuah film komedi romantis dengan nafas keagamaan adalah keputusan tepat agar tak terbawa terlalu serius untuk medium syiar agama. 


Menjalani hidup bersama dengan pasangan memang gampang-gampang susah. Apalagi, ketika sudah janji sehidup semati dengan pernikahan sebagai upacara yang sakral. Hal itu juga dialami oleh Bagas (Vino G. Bastian) dan Risa (Laudya Cynthia Bella) ketika menjalani kehidupan mereka sebagai suami istri. Banyak sekali rintangan yang harus mereka hadapi dan mereka memutuskan untuk berpisah karena Bagus terpergok sedang merajut kasih dengan penyanyi pop melayu. Kehidupan mereka setelah bercerai pun tetap dirundung masalah, karena hutang piutang mereka menumpuk.

Tetapi rejeki memang selalu datang ketika keadaan sedang sulit, sebuah pengorganisir acara menyetujui proposal mereka tentang acara pernikahan dengan Bagas dan Risa sebagai ikonnya. Tetapi, sang penyetuju acara mereka tak mau menyetujui acara mereka karena Bagas dan Risa tak lagi bersama. Mereka berdua mencari cara agar bisa menikah kembali tetapi persyaratan untuk menikah kembali menurut agama mereka tak semudah kedengarannya. Dan Bimo (Reza Rahadian), teman kecil Risa yang juga berkolega bisnis dengan mereka berusaha mencarikan solusi. 


Kerumitan-kerumitan dalam cerita Talak 3 yang  digarap oleh Hanung Bramantyo dan Ismail Basbeth berpotensi untuk menjadi sebuah medium syiar agama yang terlalu serius dan menceramahi. Maka dari itu, mereka ingin menjadikan Talak 3 sebuah sajian komedi romantis. Tragedi-tragedi serius ini adalah komposisi menarik agar dijadikan sebuah komedi yang bagus. Tujuannya jelas untuk memberikan pengertian atas konsekuensi dan resiko yang harus dihadapi oleh dua sejoli ketika sudah mengucap janji sehidup semati.

Kekakuan sebuah ajaran agama yang berusaha disampaikan di dalam Talak 3 bukan serta merta untuk menyebarkan pandangan bahwa agama tertentu adalah superior. Hanya saja di dalam Talak 3 ini kedua sutradara ingin menyampaikan pesan bahwa pernikahan bukanlah segampang yang dikira banyak orang. Pun, hal ini akan sangat berlaku di ajaran kepercayaan mana pun. Kerumitan plot film ini adalah perwakilan dari bagaimana proses yang rumit ketika mantan sepasang suami istri ini berusaha mencurangi peraturan yang ditetapkan untuk mengatur pernikahan.

Bagas dan Risa berusaha keras agar mereka bisa hidup kembali setelah melalui prosek talak tiga sebagai syarat dari perceraian. Mereka berusaha mencurangi peraturan-peraturan saklek dari sebuah kepercayaan yang ternyata tak dapat mereka abaikan begitu saja. Bagusnya, Hanung dan Ismail berusaha keras agar Talak 3 tak melenceng dari landasan kepercayaan yang mereka pegang tetapi dapat menyampaikan syiar mereka dengan cara yang lugas dan juga menyenangkan. Pun, diperkuat lewat ikatan emosi yang sangat nyata oleh para pelakonnya. 


Pun, Hanung Bramantyo dan Ismail Basbeth berusaha keras untuk menyindir isu-isu sosial ketika sebuah agama dijadikan sebagai komoditas penghasil uang yang menjanjikan bagi petinggi negeri. Ajaran-ajaran agama saklek yang berusaha dicurangi serta merta dihalalkan begitu saja agar bisa mendapatkan keuntungan dalam bentuk materi. Talak 3 berusaha menyindir hal-hal itu dan disampaikan kepada penontonnya tetapi dengan komedi riuh. Sehingga, pesan berat itu diolah agar menjadi sebuah kemudahan yang dapat dicerna.

Film adalah sebuah hal yang representatif dari yang terjadi di lingkungan sekitar. Maka, Hanung dan Ismail Basbeth me-reka ulang kejadian yang ada di sekitar mereka tentang mayoritas orang yang berusaha mencurangi ajaran dari tuhan. Penerapan sebuah ajaran tuhan yang sudah menjadi budaya yang disampaikan di dalam film ini bukan sebagai medium untuk mengkritisi. Terlepas dari sebuah ajaran agama, film ini ingin menyampaikan sebuah pesan universal yang dapat diterima oleh semua kalangan tentang keabsahan sebuah pernikahan. 


Dengan banyaknya pesan-pesan dan kerumitan plot yang ada di dalam film Talak 3, hal itu tak membuat filmnya menjadi sebuah film yang menceramahi. Talak 3 ingin menunjukkan kedewasaan dalam menyelesaikan masalahnya ketika mereka telah berusaha keras mencurangi ajaran saklek dari tuhan tentang pernikahan. Tetapi di luar pesan-pesan syiar agama yang mereka sampaikan, terdapat sebuah pesan universal yang ingin disampaikan tentang sebuah pernikahan. Konten berat yang dihadirkan lewat Talak 3 diolah menjadi sebuah komedi ringan yang tetap lugas dalam memberikan syiarnya. Jelas, Talak 3 adalah sebuah komedi romantis bernafas keagamaan yang sangat menyenangkan!

0 Response to "TALAK 3 (2015) REVIEW : Medium Syiar Agama Yang Universal"

Posting Komentar