DIVERGENT (2014) REVIEW : BEATRICE PRIOR AND HER LIFE CHOICE


Lagi dan lagi, sebuah novel yang diadaptasi untuk divisualisasikan menjadi kumpulan gambar bergerak dan menerjemahkan kata demi kata, kalimat demi kalimat dari sebuah novel. Buku-buku young-adult memang selalu menjadi sasasran, terutama jika buku itu memiliki satu premis menarik dan juga bestseller. Setelah seri The Twilight Saga yang sukses secara besar-besaran terutama di segi finansial, para rumah produksi Hollywood pun mengikuti rumus yang sama untuk mendapatkan keuntungan yang besar di industri perfilman.

Summit Entertainment, yang pernah menangani film The Twilight Saga, membeli hak dari trilogi best seller milik Veronica Roth. Usaha yang bagus dari Summit Entertainment untuk sekali lagi mendapatkan kucuran dana dari sebuah buku trilogi yang memiliki banyak fans juga. Seri kali ini yaitu Divergent. Memiliki tiga buku dengan cerita yang menarik untuk diikuti di setiap serinya. 


Di Divergent ini, dimulai dari seorang gadis bernama Beatrice Prior (Shailene Woodley) yang hidup di dunia setelah kehancuran di Chicago. Di umurnya yang ke 16, dia harus memilih satu dari 5 faksi yang ada di kota miliknya. Faksi-faksi itu mewakili sifat-sifat manusia. Kepintaran dimilik faksi Erudite, Kesenangan dimiliki faksi Amity, Kejujuran untuk faksi Candor,Tidak egois untuk faksi Abnegation, serta Pemberani untuk faksi Dauntless.

Saat tes kemampuan, hasil dari Beatrice ternyata memiliki kelainan yang disebut Divergent. Dimana, dia mewakili 3 sifat dari lima faksi. Pada saat upacara pemilihan pun, dia memilih Dauntless sebagai faksinya. Dia bertemu dengan seorang pelatih bernama Four (Theo James) yang membimbing dirinya saat melakukan inisiasi di faksi tersebut. Mereka berdua semakin dekat, hingga akhirnya banyak hal terjadi. Seketika itu, Jeanine Matthews (Kate Winslet) berusaha untuk menyingkirkan Abnegation dari muka bumi Chicago. 


Less explore, little messy, but its Enjoyable.

Premis menarik dan best seller menjadi iming-iming besar bagi siapapun rumah produksi. Keputusan yang sangat pintar bagi Summit Entertainment yang berhasil mendapatkan hak kopi dari buku Divergent karya Veronica Roth ini. Terlebih, kredibilitas buku ini perlu digarisbawahi karena telah mendapatkan pujian dimana-mana. Summit Entertainment pun memberikan kepercayaan yang besar untuk trilogi tersebut. Sebelum film pertama di rilis pun, dua seri dari trilogi ini sudah memiliki slot tayang di 2 tahun berikutnya.

Neil Burger pun ditunjuk sebagai Sutradara untuk seri pertama dari seri Divergent ini. Dengan bantuan dari Vanessa Taylor dan Evan Daughtery di departemen screenwriter yang memiliki satu momen krusial dari adaptasi novel. Divergent bisa dibilang sebagai pertunjukan dari Beatrice Prior. Semua cerita yang disini adalah semua tentang Beatrice Prior. Padahal masih ada banyak karakter-karakter yang ditampilkan di Divergent yang harusnya saling berinteraksi dan masih bisa digali hingga akhirnya Divergent tidak hanya straight to the story tetapi akan lebih kompleks

Ada beberapa karakter yang masih terasa satu dimensi. Hanya sekedar tampil di film ini sehingga setidaknya akan membuat pembaca novel Divergent mengerti bahwa “Oh, karakter ini masih ada di filmnya”. Tetapi bagi yang bukan pembaca novel, karakter-karakter yang ada di film ini ada atau tidak adanya mereka di dalam film tidak begitu memiliki pengaruh besar untuk filmnya. Karena semua cerita adalah milik Beatrice. Bahkan, karakter Four yang menjadi salah satu karakter utama pun masih memiliki kedalaman karakter yang nanggung. 


Informasi-informasi yang dilemparkan kepada penonton juga masih acak. Sehingga penonton pun masih bertanya ini-itu tentang filmnya. Membuat beberapa lubang-lubang cerita yang tidak bisa dihindari oleh film arahan Neil Burger ini. Tetapi, bisa dibilang Divergent adalah film adaptasi novel yang cukup berhasil. Bisa memanfaatkan 135 menit dari film ini dengan baik. Membuat penontonnya lupa tentang rentang durasinya yang lama dengan cerita-cerita menarik dari novelnya yang diadaptasi ke sebuah film.

Divergent, tidak menjadi the next City Of Bones, The Host, Beautiful Creatures atau Vampire Academy yang gagal memikat penontonnya. Divergent juga tidak The Hunger Games-ish. Divergent memiliki ritme-nya sendiri. Dengan fast pace dan slow pace yang ditaruh dengan pas, sehingga 130 menit milik Divergent ini benar-benar thought-provoking. Membuat para penonton pria dan wanita pun akan menikmati apa yang disajikan oleh Neil Burger di seri pertama Divergent ini. 


Neil Burger berhasil membuka seri pertama dari trilogi Divergent ini dengan cukup baik. Ini jelas akan memberikan satu poin bagi trilogi untuk lanjut ke seri berikutnya. Tinggal menunggu bagaimana tangga Box Office ini berbicara. Karena bagaimana pun, hasil dari Box Officepun juga akan mempengaruhi jalannya trilogi ini. Divergent memiliki porsi yang pas antara Drama untuk menjelaskan universe milik Divergent dan juga porsi aksi yang cukup banyak. Sehingga, siapapun penontonnya akan terhibur dengan Film ini.

Hal yang akan sangat riskan dari adaptasi novel Young-Adult adalah romansa cinta antar karakter. Karena banyak sekali yang akhirnya disorot berlebihan sehingga menimbulkan satu momen ‘meh’ yang tidak disukai penonton. Beruntung, Neil Burger tidak menyorot romansa Four dan Tris secara berlebihan. Mereka tetap menempatkan cerita cinta mereka dengan porsi yang tepat. Meskipun beberapa hal masih terkesan memaksa karena minimnya kedalaman karakter di film ini sehingga romansa mereka masih lack of chemistry


Penggunaan kamera IMAX untuk film ini memang tidak begitu terlihat layaknya The Hunger Games. Tetapi, itu akan memaksimalkan landscape cantik di Divergent. Banyak sekali panorama-panorama indah Chicago in Dystopian versionyang berhasil ditangkap oleh sang Director of Photography sehingga beberapa bagian akan maksimal jika disaksikan dalam versi IMAX. Begitupun dengan production value yang tidak sembarangan. Kota chicago after-war pun berhasil diinterpretasikan. Serta scoring yang menarik yang diproduseri oleh Hans Zimmer dan Soundtrack-soundtrack yang ear-catchy ini pun menjadi poin plus dari segi teknis di film ini. 


Keputusan untuk membuat Divergent menjadi Bearice Prior show ini berpengaruh bagi performa Shailene Woodley sebagai Beatrice. Shailene Woodley berhasil memberikan performa akting yang menarik (dan selalu di setiap filmnya). Dia berhasil memerankan Beatrice yang cantik dengan penuh lika-liku hidupnya sebagai seorang Divergent dan memberikan satu peran ikonik dengan akting yang mumpuni. Theo James sebagai Four masih kurang ter-eksplor disini tetapi jelas Theo James akan menjadi words of mouthbagi setiap wanita setelah menonton film ini karena paras tampan yang dimilikinya. Kate Winslet, tak usah diragukan, dia berhasil menunjukkan kesan dingin yang memang menjadi keseharian sosok Jeanine Matthews, karakter yang sedang diperankannya. 


Overall, Divergent adalah film adaptasi novel yang cukup baik diangkat menjadi sebuah film. Meskipun beberapa bagian masih memiliki lubang, karakter-karakter lain selain Beatrice memiliki kedalaman cerita yang masih minimalis menjadi kendala dari film ini. Tetapi, bagaimana Neil Burger mengolah Divergent ini menjadi satu sajian yang menghibur dengan porsi cerita yang pas. Quite good start for the Trilogy, may it would be better in the next series. 

0 Response to "DIVERGENT (2014) REVIEW : BEATRICE PRIOR AND HER LIFE CHOICE"

Posting Komentar